“Harta, Tahta, Wanita” (istilah
yang populer di Indonesia) ketiganya memang merupakan bentuk tritunggal lain
yang dapat mengalihkan perhatian kita, orang Kristen pada khususnya, dari ke-Tritunggal-an
“Allah, Bapa, dan Roh Kudus”. Bishop Hwa Yung dalam buku “Suap dan Korupsi:
Refleksi Alkitabiah dan Studi Kasus dalam Pasarloka di Asia” menggunakan bahasa
yang serupa yaitu “Uang, Seks, dan Kekuasaan” sebagai pendahuluan yang mencelikkan
mata pembaca untuk melihat tiga hal utama yang menekan kemanusiaan kita
sehari-hari. Sayangnya tekanan tersebut,
digambarkan dalam Bab 1, seringkali membuat orang Kristen gagal dalam memenuhi
keinginan Sang Pencipta. Ditambah lagi dengan ketidakcukupan spiritualitas
manusia untuk menghadapi tekanan-tekanan tersebut, membuat latar belakang
mengapa manusia sulit untuk tidak berelasi (langsung/tidak langsung) dengan
suap dan korupsi, semakin nyata.
Bagi saya yang bekerja di bidang
pemerintahan yang notabene memiliki stigma ‘lahan basah’ bagi praktik suap dan
korupsi, buku ini sangat relevan bagi pegiat pasarloka dengan kultur dan
dinamika bergereja di Asia. Masalah suap memang sudah membudaya sejak dari
komunitas terkecil, keluarga. Bahkan saya sendiri harus mengalami pertengkaran
dengan orang tua saat saya mendapati SIM A saya diberikan begitu saja oleh
orang tua kepada saya tanpa harus menjalani tes apapun. Pun budaya
bersilahturahmi serta pemberian yang tanpa diminta acapkali dipandang sebagai
suatu berkah yang tidak baik bila ditolak karena dianggap tidak menghargai
orang lain.
Melimpahnya literatur impor
bernuansa Kristiani yang mengisi rak-rak toko buku tidak serta merta membuat
pergumulan umat Kristen di Indonesia semakin mudah dijalani. Lubang kecil yang muncul
di setiap referensi dari negara-negara Barat, nampaknya terbaca oleh Bishop Hwa
Yung untuk menghadirkan tulisan yang sangat akrab dengan budaya Asia sebagai
penutup lubang tersebut. Kebiasaan-kebiasaan di belahan bumi Asia seperti guanxi di China dan hubungan kekerabatan
antar masyarakat di Asia yang sangat erat, menggugah pembaca agaknya perlu
mengkaji ulang prinsip-prinsip etika/moral Kekristenan yang lebih membumi namun
tetap bertangungjawab kepada Tuhan dalam pengambilan keputusan agar tidak terkesan
kompromistis egois semata.
Kekuatan lainnya dari buku ini
terletak pada konsep penulisannya yang menurut saya pribadi alih-alih langsung
memberikan jawaban (ataupun penghakiman) atas pergumulan seputar suap dan
korupsi yang dialami pembaca, buku ini menyuguhkan pertimbangan teologis kepada
praktisi pasarloka dalam menghadapi situasi yang berhubungan secara langsung
maupun tidak langsung dengan korupsi. Buku ini menelisik pemahaman dan perasaan
pembaca yang sedang bergumul, memberikan gambaran yang membantunya mengerti
bahwa suap dan korupsi di Asia memang sangat dekat dengan kita dan memerlukan
energi lebih untuk memeranginya dengan hikmat sebagaimana yang ditampilkan pada
kitab Amsal.
Beberapa prinsip, alternatif, dan
panduan praktis disajikan secara gamblang dalam buku ini. Alangkah baiknya bila
poin-poin penting tersebut diberi tajuk
yang lebih ringkas sehingga mudah diingat dan diaplikasikan oleh pembaca ke
dalam medan kerja masing-masing. Kemudian beberapa catatan kaki yang padat akan
muatan informasi penting sekiranya dapat ditampilkan sebagai bagian dari
tulisan karena beberapa pembaca mungkin akan melewatkan bagian catatan kaki.
Hal lainnya yang membangun suasana hati saya saat membaca buku ini adalah
banyaknya kata ‘tidak’ dan ‘bukan’ di sepanjang buku ini. Dengan melihat Bagian
1 saja, tercatat 19 kata ‘tidak’ pada Bab 1, 23 pada Bab 2, dan 66 pada Bab 3,
sedangkan secara kesuluruhan dalam 90 halaman buku terdapat 215 kata ‘tidak’
dan 15 kata ‘bukan’. Hal ini berpotensi menimbulkan nuansa negatif dalam
pembacaannya, sehingga harapan Bishop Hwa Yung yang dideskripsikan dalam
pengantar untuk memotivasi pembaca berperan aktif dengan semangat optimistik
menanggapi suap dan korupsi, malah sebatas mengkonfirmasi tentang situasi yang
sedang dialami oleh pembaca memang sesuai dengan isi buku dan apa kata Alkitab tentang situasi tersebut.
Buku ini sangat tepat disertai
dengan tanggapan teologis (Bagian 2) dan studi kasus (Bagian 3), membuat
pembaca tidak merasa sendirian berjuang memerangi suap dan korupsi di
lingkungan kerjanya. Akan menjadi lebih lengkap bila dalam tulisannya Bishop
Hwa Yung mengulas tentang aspek hukum. Karena hukum merupakan salah satu unsur
pengendali apabila pembelajaran pada tataran etika dan moral tidak berjalan.
Saya yakin buku ini akan membawa
inspirasi dan pengharapan bagi pembaca. Sebagaimana saya yang terinspirasi oleh
salah satu kalimat Bishop Hwa Yung yang diajarkan kepada muridnya: “Tidak
melakukan keburukan sangat berbeda dengan melakukan kebaikan.” Kiranya kita
dapat menjadi duta-duta Kerajaan Allah yang aktif membawa kebaikan bagi
pasarloka di sekitar kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar