Minggu, 06 Maret 2016

REVIEW BUKU BRIBE AND CORRUPTION by HWA YUNG




“Harta, Tahta, Wanita” (istilah yang populer di Indonesia) ketiganya memang merupakan bentuk tritunggal lain yang dapat mengalihkan perhatian kita, orang Kristen pada khususnya, dari ke-Tritunggal-an “Allah, Bapa, dan Roh Kudus”. Bishop Hwa Yung dalam buku “Suap dan Korupsi: Refleksi Alkitabiah dan Studi Kasus dalam Pasarloka di Asia” menggunakan bahasa yang serupa yaitu “Uang, Seks, dan Kekuasaan” sebagai pendahuluan yang mencelikkan mata pembaca untuk melihat tiga hal utama yang menekan kemanusiaan kita sehari-hari.  Sayangnya tekanan tersebut, digambarkan dalam Bab 1, seringkali membuat orang Kristen gagal dalam memenuhi keinginan Sang Pencipta. Ditambah lagi dengan ketidakcukupan spiritualitas manusia untuk menghadapi tekanan-tekanan tersebut, membuat latar belakang mengapa manusia sulit untuk tidak berelasi (langsung/tidak langsung) dengan suap dan korupsi, semakin nyata.
Bagi saya yang bekerja di bidang pemerintahan yang notabene memiliki stigma ‘lahan basah’ bagi praktik suap dan korupsi, buku ini sangat relevan bagi pegiat pasarloka dengan kultur dan dinamika bergereja di Asia. Masalah suap memang sudah membudaya sejak dari komunitas terkecil, keluarga. Bahkan saya sendiri harus mengalami pertengkaran dengan orang tua saat saya mendapati SIM A saya diberikan begitu saja oleh orang tua kepada saya tanpa harus menjalani tes apapun. Pun budaya bersilahturahmi serta pemberian yang tanpa diminta acapkali dipandang sebagai suatu berkah yang tidak baik bila ditolak karena dianggap tidak menghargai orang lain.
Melimpahnya literatur impor bernuansa Kristiani yang mengisi rak-rak toko buku tidak serta merta membuat pergumulan umat Kristen di Indonesia semakin mudah dijalani. Lubang kecil yang muncul di setiap referensi dari negara-negara Barat, nampaknya terbaca oleh Bishop Hwa Yung untuk menghadirkan tulisan yang sangat akrab dengan budaya Asia sebagai penutup lubang tersebut. Kebiasaan-kebiasaan di belahan bumi Asia seperti guanxi di China dan hubungan kekerabatan antar masyarakat di Asia yang sangat erat, menggugah pembaca agaknya perlu mengkaji ulang prinsip-prinsip etika/moral Kekristenan yang lebih membumi namun tetap bertangungjawab kepada Tuhan dalam pengambilan keputusan agar tidak terkesan kompromistis egois semata.
Kekuatan lainnya dari buku ini terletak pada konsep penulisannya yang menurut saya pribadi alih-alih langsung memberikan jawaban (ataupun penghakiman) atas pergumulan seputar suap dan korupsi yang dialami pembaca, buku ini menyuguhkan pertimbangan teologis kepada praktisi pasarloka dalam menghadapi situasi yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan korupsi. Buku ini menelisik pemahaman dan perasaan pembaca yang sedang bergumul, memberikan gambaran yang membantunya mengerti bahwa suap dan korupsi di Asia memang sangat dekat dengan kita dan memerlukan energi lebih untuk memeranginya dengan hikmat sebagaimana yang ditampilkan pada kitab Amsal.
Beberapa prinsip, alternatif, dan panduan praktis disajikan secara gamblang dalam buku ini. Alangkah baiknya bila poin-poin penting  tersebut diberi tajuk yang lebih ringkas sehingga mudah diingat dan diaplikasikan oleh pembaca ke dalam medan kerja masing-masing. Kemudian beberapa catatan kaki yang padat akan muatan informasi penting sekiranya dapat ditampilkan sebagai bagian dari tulisan karena beberapa pembaca mungkin akan melewatkan bagian catatan kaki. Hal lainnya yang membangun suasana hati saya saat membaca buku ini adalah banyaknya kata ‘tidak’ dan ‘bukan’ di sepanjang buku ini. Dengan melihat Bagian 1 saja, tercatat 19 kata ‘tidak’ pada Bab 1, 23 pada Bab 2, dan 66 pada Bab 3, sedangkan secara kesuluruhan dalam 90 halaman buku terdapat 215 kata ‘tidak’ dan 15 kata ‘bukan’. Hal ini berpotensi menimbulkan nuansa negatif dalam pembacaannya, sehingga harapan Bishop Hwa Yung yang dideskripsikan dalam pengantar untuk memotivasi pembaca berperan aktif dengan semangat optimistik menanggapi suap dan korupsi, malah sebatas mengkonfirmasi tentang situasi yang sedang dialami oleh pembaca memang sesuai dengan isi buku dan  apa kata Alkitab tentang situasi tersebut.
Buku ini sangat tepat disertai dengan tanggapan teologis (Bagian 2) dan studi kasus (Bagian 3), membuat pembaca tidak merasa sendirian berjuang memerangi suap dan korupsi di lingkungan kerjanya. Akan menjadi lebih lengkap bila dalam tulisannya Bishop Hwa Yung mengulas tentang aspek hukum. Karena hukum merupakan salah satu unsur pengendali apabila pembelajaran pada tataran etika dan moral tidak berjalan.
Saya yakin buku ini akan membawa inspirasi dan pengharapan bagi pembaca. Sebagaimana saya yang terinspirasi oleh salah satu kalimat Bishop Hwa Yung yang diajarkan kepada muridnya: “Tidak melakukan keburukan sangat berbeda dengan melakukan kebaikan.” Kiranya kita dapat menjadi duta-duta Kerajaan Allah yang aktif membawa kebaikan bagi pasarloka di sekitar kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sample text

Sample Text

Sample Text

Social Icons

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Followers

Social Icons

Featured Posts

Pages